Ditulis Oleh : Wahid Suharmawan
Setiap orang tua pasti mengharapkan
anaknya pintar, cerdas, dan mampu menyelesaikan tugas-tugas akademik sekolah
dengan baik, sukur-sukur rangking satu. Harapan inilah yang menyebabkan orang
tua berlomba-lomba memfasilitasi berbagai macam keperluan anak, termasuk les
privat berbagai macam. Harapannya agar anak menjadi siswa seperti yang
diharapkan. Meskipun sudah dileskan berbagai macam pelajaran, masih banyak anak
yang berprestasi rendah padahal berdasarkan tes inteligensi (IQ) anak termasuk
berIQ rata-rata bahkan superior (lebih besar dari 110 skala Weschler).
Berdasarkan hasil penelitian Yumil
Achir (dalam Utami Munandar, 2004) sekitar 39 % siswa berbakat di Jakarta
memperoleh nilai di bawah rata-rata. Bahkan dari hasil penelitian di Amerika
Serikat diperkirakan antara 15 – 50 persen anak berbakat berprestasi kurang
(underachiever). Pertanyaannya adalah “mengapa anak berprestasi di bawah
kemampuannya?”
Banyak teori untuk menjelaskan
kenapa anak berprestasi di bawah potensinya (uncerachiever). Menurut Utami
Munandar (2004), salah satu penyebabnya adalah latar belakang seorang, yang
menyangkut rasa harga diri yang rendah. Rasa harga diri yang rendah adalah
ketidakpercayaan atas kemampuan yang dimiliki. Mereka tidak percaya bahwa
mereka mampu melakukan apa yang diharapkan orang tua dan guru dari mereka.
Untuk menutupi rasa harga diri mereka, biasanya dengan perilaku berani dan
menentang atau dengan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri. Misalnya
dengan menyalahkan sekolah atau guru atau dengan menyatakan tidak peduli atau
tidak berusaha dengan sungguh-sungguh jika prestasi mereka kurang memuaskan.
Sering kita mendengar anak
mengatakan “matematika memang susah”, hal ini karena berkaitan dengan rasa harga
diri yang rendah sehingga untuk menutupi kegagalan mereka menyalahkan pelajaran
matematika atau gurunya. Menyalahkan pelajaran atau guru merupakan mekanisme
anak untuk menghindari tanggung jawab untuk berprestasi.
Menurut Adi W. Gunawan (2004), harga
diri yang rendah merupakan bagian dari konsep diri yang rendah. Apakah Konsep
diri itu ? Konsep diri terdiri dari tiga komponen yaitu diri ideal (self
ideal), citra diri (self image), dan harga diri (self esteem).
DIRI IDEAL (SELF IDEAL)
Sering kita mendengar atau
menyaksikan anak meniru-niru gerakan pahlawan kartun semisal spiderman, batman,
superman, power ranger, dll. Apa yang sering kita lihat dari perilaku meniru
pahlawan kartun oleh anak pada dasarnya adalah proses pembentukan diri ideal.
Anak melihat para pahlawan tersebut menunjukkan keberanian, rasa cinta kasih,
ketabahan, ketekunan, kesabaran, integritas, kejujuran, dan masih banyak
karakter positif lainnya. Secara tidak sadar anak sedang membentuk diri ideal
yaitu ingin menjadi pahlawan kartun tersebut.
Menurut Adi W Gunawan (2004), diri
ideal menentukan sebagian besar arah hidup kita. Diri ideal menentukan arah
perkembangan diri dan pertumbuhan karakter serta kepribadian. Diri ideal
merupakan gabungan dari semua kualitas dan ciri kepribadian orang yang sangat
kita kagumi. Diri ideal merupakan gambaran dari sosok seseorang yang sangat
kita inginkan jika kita bisa menjadi orang itu.
Bila tidak hati-hati untuk membentuk
atau memilih diri ideal secara sadar, kita akan cenderung menetapkan seseorang
untuk menjadi diri ideal kita. Kita bisa melihat hal itu pada banyak kasus
anak-anak. Ketika orang tua tidak dapat menampilkan sikap dan perbuatan yang
ideal, jangan salahkan anak ketika menginginkan diri ideal pada tokoh-tokoh
kartun, bintang film, penyanyi, dll. Celakanya, tokoh yang diidealkan anak
banyak yang mempunyai masalah sosial seperti narkoba, minuman keras, perbuatan
kriminal, dll. Bahkan film kartunpun banyak mempertontonkan kekerasan dan
kesadisan. Berapa banyak anak yang bertindak agresif hanya gara-gara mencontoh
tokoh idolanya di film kartun.
Pada anak kecil yang masih belum
mengerti, orang tua sebaiknya sangat hati-hati dalam menetapkan diri ideal
untuk anak. Banyak orang tua yang terlalu berambisi, yang akhirnya
menyengsarakan anak karena menetapkan diri ideal yang terlalu sulit untuk
dicapai oleh anak. Sebagai contoh, orang tua menuntut anak untuk selalu
mendapatkan nilai 100 dalam setiap ulangan/tes dan jika tidak mencapainya anak
akan dihukum. Ini adalah konsep diri ideal yang terlalu sulit dicapai oleh
anak.
CITRA DIRI (SELF IMAGE)
Banyak anak merasa bahwa dirinya
sangat “bodoh” untuk mengikuti pelajaran di kelas. Mereka mengeluhkan pelajaran
yang sulit dimengerti seperti matematika, sulit menghafal seperti IPA, IPS dan
PKn, serta berbagai macam kesulitan pelajaran yang lain. Berawal dari kesulitan
ini lama-lama anak tidak menyukai pelajaran tertentu. Biasanya nilai pelajaran
tersebut di bawah standar. Perasaan “bodoh” semakin melekat jika anak mendapat
label “bodoh” dari lingkungan (orang tua, guru, teman, dan saudara). Akhirnya,
anak akan merasa yakin bahwa dirinya memang “bodoh”. Dalam hal ini anak
mempunyai citra diri yang negatif yaitu merasa dirinya “bodoh”.
Citra diri adalah cara kita melihat
diri kita sendiri dan berpikir mengenai diri kita sekarang saat ini. Citra diri
sering disebut sebagai “cermin diri”. Kita akan senantiasa melihat ke dalam
cermin ini untuk mengetahui bagaimana kita harus bertindak atau berlaku pada
suatu keadaan tertentu. Kita akan selalu bertindak dan bersikap sesuai dengan
gambar yang muncul pada cermin diri kita (Adi W Gunawan, 2004).
Misalnya bila anak melihat dirinya
di dalam cermin diri sebagai orang yang percaya diri, tenang, dan mampu belajar
dengan baik, maka setiap kali belajar anak akan merasa percaya diri, tenang dan
mampu, serta akan selalu positif dan gembira. Pada akhirnya anak akan
berprestasi dan mendapatkan hasil yang luar biasa. Jika ternyata karena suatu
hal anak tidak berhasil (mendapat nilai jelek), ia akan mengabaikan kegagalan
tersebut dan menganggap hanya suatu kondisi yang bersifat sementara karena ia
nantinya pasti akan berhasil. Ini disebabkan citra diri anak sangat jelas
Perubahan atau peningkatan konsep
diri yang paling cepat akan terjadi bila anak mengubah citra dirinya. Saat anak
melihat dirinya dengan cara yang berbeda, ia akan bertindak dengan cara
berbeda. Bila anak bertindak berbeda, ia akan merasa berbeda. Karena anak
bertindak dan merasa berbeda, ia akan mendapatkan hasil yang berbeda.
HARGA DIRI (SELF ESTEEM)
Budi merasa dirinya paling “bodoh”
di kelas karena nilainya selalu jelek. Atik merasa minder karena kulitnya hitam
dan hidungnya “pesek”. Anto malu bergaul dengan teman-temanya karena ia berasal
dari keluarga miskin (bapaknya seorang penjual koran). Beberapa contoh di atas
adalah konsep harga diri yang rendah. Padahal kalau di lihat lebih jauh,
meskipun nilai pelajaran Budi selalu jelek tapi Budi jago bermain bola. Atik
memang berkulit hitam, tapi ia anak yang rajin dan disiplin. Ia tidak pernah
terlambat datang ke sekolah. Meskipun Anto dari keluarga miskin, tapi Anto
adalah anak yang pintar karena ia selalu rangkin satu.
Contoh di atas merupakan konsep
harga diri yang rendah. Harga diri didefinisikan sebagai seberapa suka kita
terhadap diri kita sendiri. Semakin kita menyukai diri kita, menerima diri
kita, dan hormat pada diri kita sendiri sebagai seorang yang berharga dan
bermakna, semakin tinggi harga diri kita. Semakin kita merasa sebagai manusia
yang berharga, kita akan semakin positif dan bahagia.
Harga diri akan menentukan semangat,
antusiasme, dan motivasi diri. Harga diri adalah penentu prestasi dan
keberhasilan kita. Orang dengan harga diri yang tinggi memiliki kekuatan
pribadi yang luar biasa besar dan dapat berhasil melakukan apa saja di dalam
hidupnya. Banyak contoh disekeliling kita yang dapat kita jadikan contoh betapa
luar biasanya nilai harga diri. Kalau kita melihat Tika Pengabean (artis, P.
Projek, MC), jika ia mempunyai harga diri yang negatif seperti selalu menyesali
badannya yang tambun (baca gemuk) dan wajahnya yang “tidak cantik”, dipastikan
ia tidak akan berhasil seperti sekarang.
Sekitar awal abad ke-20 kita
mengenal seorang anak manusia bernama Helen keller.
Sejak lahir ia buta, bisu, tuli, dan
mempunyai masalah dengan perilaku. Semua orang menggap Hellen tidak punya masa
depan, tetapi sang guru berpendapat lain. Hellen adalah anak yang cerdas
meskipun ia buta, bisu dan tuli. Berkat ketekunan gurunya yang membangkitkan
harga dirinya, ia mampu kuliah di Universitas ternama di AS. Prestasi
akademiknya mampu melampaui mahasiswa yang normal. Pada saat mahasiswa yang
lain tidur terlelap dalam dekapan malam, ia dengan dibantu pendampingnya sibuk
membaca buku-buku teks yang menggunakan huruf braile sampai jari-jarinya terasa
perih. Hellen Keller yang buta, bisu dan tuli menjadi pembicara terkenal di
dunia dan menulis banyak buku. Cerita hidupnya menginspirasi jutaan orang yang
buta, tuli dan bisu diseluruh dunia. Inilah motivasi luar biasa yang dihasilkan
dari harga diri yang tinggi.
KESIMPULAN
Jadi, dalam konteks anak, diri ideal
adalah orang/tokoh yang oleh anak sangat ingin menjadi di suatu waktu di masa
depan. Diri ideal menentukan arah hidup, pertumbuhan, dan evolusi diri anak.
Citra diri adalah cara anak melihat dirinya sendiri dan menentukan prestasinya
di masa sekarang. Harga diri anak ditentukan oleh hubungan antara diri ideal
dan citra dirinya.
Harga diri yang tinggi adalah dasar
dari sebuah konsep diri yang positif dan merupakan unsur penting untuk mencapai
keberhasilan. Semakin anak menyukai dan menghargai dirinya sendiri, ia akan
semakin baik dalam mengerjakan sesuatu.
Orang tua yang mempunyai masalah
dengan prestasi anak, mulai sekarang sebaiknya mulai merenungkan tentang hal
ini. Sudahkan anak kita mempunyai konsep diri yang positif? Atau malah anak
kita mempunyai konsep diri yang negative? (bersambung)
SUMBER :
Gunawan, Adi W. 2004. Genius
Learning Strategy, Petunjuk praktis untuk menerapkan Accelerated Learning.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan anda dan kritik anda sangat berarti demi kemajuan saya terimakasih atas saran-saran dari anda semua semoga bermanfaat bagi saya dan kita semua.... Amiin